IJMA’
Disusun Guna Memenuhi
Tugas
Mata Kuliah : Ushul
Fiqih
Dosen Pengampu : Drs.
H. Ahmad Taqwim M.A
Disusun oleh:
Syaeful
Amrurozi (114211046)
FAKULTAS USHULUDDIN
INSTITUT AGAMA ISLAM
NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2012
I.
Pendahuluan
Harus dikemukakan sejak awal bahwa ijma’
itu tidak terlepas dari penyandaran terhadap Al-Qur’an dan As-Sunnah, . Sebagai
doktrin dan dalil syari’ah, ijma’ pada dasarnya ijma’ merupakan dalil rasional.
Teori ijma’ juga jelas bahwa ia merupakan dalil yang menuntut bahwa banyak
konsensus mutlak dan universal sajalah yang memenuhi syarat, sekalipun
konsensus mutlak mengenai materi ijma’ yang bersifat rasional sering kali sulit
terjadi. Adalah wajar dan masuk akal untuk hanya menerima ijma’ sebagai
realitas dan konsep yang falid dalam pengertian relative, tetapi bukti factual
tidak cukup untuk menentukan universalitas ijma’. Definisi klasik dan syarat
esensial ijma’ sebagai mana ditetapkan oleh ulama-ulama ushul, adalah sangat
jelas bahwa tak kurang dari konsensus universal sarjana-sarjana muslim dapat
dianggap sebagai ijma’ yang meyakinkan. Oleh karena itu tidak ada sedikitpun
ruang bagi ketidak sepakatan, atau ikhtilaf, mengenai konsep ijma’. Teori ijma’
juga tidak mau menerima gagasan relatifitas atau meluasnya ketidaksepakatan
dalam dirinya
II.
Pokok Pembahasan
1.
Pengertian
dan fungsi ijma’
2.
Rukun-rukun
ijma’
3.
Problematika
ijma’
III.
Pembahasan
a.
Pengertian
dan fungsi ijma’
Secara
etimologi ijma’ berasal dari kata Ajma’a, yujmi’u, ijma’atan, yang artinya
“bersetuju, bersatu pendapat, bersepakat”[1].dalam
hal ini dapat di lihat dalam Al-Qur’an Surat yusuf (12): 15:
$£Jn=sù (#qç7yds ¾ÏmÎ/ (#þqãèuHødr&ur br& çnqè=yèøgs Îû ÏMt6»uxî Éb=ègø:$# 4 !$uZøym÷rr&ur Ïmøs9Î) Oßg¨Zt¤Îm6t^çFs9 öNÏdÌøBr'Î/ #x»yd öNèdur w tbráãèô±o ÇÊÎÈ
Maka
tatkala mereka membawanya dan sepakat memasukkannya ke dasar sumur (lalu mereka
masukkan dia), dan (di waktu dia sudah dalam sumur) kami wahyukan kepada Yusuf:
"Sesungguhnya kamu akan menceritakan kepada mereka perbuatan mereka ini,
sedang mereka tiada ingat lagi."
Adapun pengertian ijma dalam istilah teknis
hukum atau istilah Syar’i
terdapat perbedaan rumusan. Perbedaan rumusan itu dapat di lihat dalam beberapa
rumusan atau devinisi ijma sebagai berikut:
Al-Ghazali merumuskan ijma dengan kesepakatan
umat Muhammad secara khusus atas urusan agama.[2]
Sedang Ijma
menurut pengertian para ahli Ushul Fiqih adalah: kesepakatan seluruh para
mujtahid di kalangan umat islam pada suatu masa ketika Rosululloh SAW wafat
atas hukum Syara mengenai Suatu kejadian.[3]
Yang dimaksud
dengan fungsi ijma’ disini adalah kedudukannya dihubungkan dengan dalil lain,
berupa nash atau bukan. Memang pada dasarnya ijma’ itu, menurut ulama ahlu
sunnah mempunyai kekuatan dalam menetapkan hukum dengan sendirinya. Dalam hal
ini terlihat ada dua pandangan yang berbeda mengenai kedudukan dan fungsi
ijma’, dilihat dari sudut pandangan masing-masing kelompok.
dalam pandangan ulama yang berpendapat bahwa
untuk kekuatan suatu ijma’ tidak diperlukan sandaran atau rujukan kepada suatu
dalil yang kuat, ijma’ itu berfungsi menetapkan hukum atas dasar taufiq Allah
yang telah dianugerahkan kepada ulama yang melakukan ijma’ tersebut. Dalam
pandangan ini tampak bahwa kedudukan dan fungsi ijma’ itu bersifat mandiri.
Dalam
pandangan ulama yang mengharuskan adanya sandaran untuk suatu ijma’, dalam
bentuk Nash atau qiyas, maka ijma’ itu berfungsi untuk meningkatkan kualitas
dalil yang dijadika sandaran itu. Melalui ijma’, dalil yang asalnya lemah atau
zhanni menjadi dalil yang kuat atau Qath’I, baik dalil itu berbentuk Nash atau
qiyas.
b.
Rukun-
Rukun Ijma’
Dalam definisi
ijma telah disebutkan bahwa ia adalah : kesepakatan para mujtahid dari umat
islam pada suatu masa atas hukum Syara definisi ini dapat di ambil kesimpulan
bahwa rukun ijma dimana menurut Syar’I ia tidak akan terjadi kecuali dengan
keberadaanya, adalah empat, yaitu:
Pertama:
adanya sejumlah para mujtahid pada saat terjadinya suatu peristiwa karena
sesungguhnya kesepakatan tidak mungkin dapat tergambar kecuali pada sejumlah
pendapat, dimana masing-masing pendaapat sesuai dengan pendapat lainya. Maka
kalau sekiranya pada suatu waktu tidak terdapat sejumlah para mujtahid,
Misalnya tidak ditemukan seorang mujtahid sama sekali, atau hanya di temukan
seorang mujtahid, maka secara Syara’ tidak akan terjadi ijma’ pada waktu itu.
Oleh karena inilah, maka tidak ada ijma’ pada masa Rosululloh SAW ., karena
hanya belio sendirilah mujtahid waktu itu.
Kedua:
adanya kesepakatan seluruh mujtahid di kalangan umat islam terhadap hukum Syara
mengenai suatu kasus atau peristiwa pada waktu terjadinya tanpa memandang
negeri mereka, kebangsaan mereka, ataupun kelompok mereka. Maka kalau seandainya
para mujtahid negeri makkah dan madinah saja ataupun para mujtahid negri irak
saja, atau mujtahid negeri hijaz saja, atau para mujtahid ahli bait, atau para
mujtahid ahli sunah, bukan mujtahid golongan Syi’ah sepakat atas hukum Syara’
Mengenai suatu peristiwa, maka dengan kesempatan kusus ini tidaklah sah ijma’
Menurut Syara’. Karena ijma’ itu tidak bisa terjadi kecuali dengan kesempatan
umum dari semua mujtahid dunia islam pada masa suatu kejadian selain mujtahid
tidak masuk penilaian.
Ketiga:
Bahwasanya kesepakatan mereka adalah dengan mengemukakan pendapat masing-masing
orang dari para mujtahid itu tentang pendapatnya yang jelas mengenai suatu
peristiwa, baik penyampaian pendapat masing-masing mujtahid itu berbentuk
ucapan, misalnya Ia memberikan fatwa mengenai peristiwa itu, atau berbentuk
perbuatan, misalnya ia memberikan suatu putusan mengenainya; baik masing-masing
dari mereka mengemukakan pendapatnya pendapat mereka, atau mereka menemukakan
pendapat, mereka secara kolektif, misalnya para mujtahid di dunia islam
mengadakan suatu konggres pada suatu masa terjadinya suatu peristiwa, dan peristiwa
itu dihadapkan kepada mereka, dan setelah mereka bertukar orientasi pandangan,
maka mereka seluruhnya sepakat atau satu hukum mengenainya.
Keempat:
bahwa kesepakatan dari seluruh mujtahid atau suatu hukum itu terealisir. Kalau
sekiranya kebanyakan dari mereka sepakat, maka kesepakatan yang terbanyak iti
tidak menjadi ijma’, kendatipun amat sedikit jumlah mujtahid yang menentang dan
besar sekali jumlah mujtahid yang sepakat karena sepanjang masih dijumpai suatu
perbedaan pendapat, maka masih ditemukan kemungkinan benar pada salah satu
pihak dan kekeliruan pada pihak lainya. Oleh karena itu, maka kesepakatan
jumlah terbanyak tidak menjadi hujjah Syar’iyah yang pasti dan meningkat.[4]
Macam-macam ijma’.
Adapun
ijma’ ditinjau dari segi cara menghasilkanya, maka ia ada dua macam yaitu:
Pertama: Ijma’ Sharih, yaitu:
kesepakatan para mujtahid suatu masa atas hukum suatu kasus, dengan cara
masing-masing dari mereka menemukakan pendapatnya secara jelas melalui fatwa
atau putusan hukum. Maksudnya bahwasanya setiap mujtahid mengeluarkan pernyataan
atau tindakan yang mengungkapkan pendapatnya secara jelas.
Kedua: Ijma’ Sukuti, yaitu: sebagian
dari mujtahid suatu masa mengemukakan pendapat mereka secara jelas mengenai
suatu kasus baik melalui fatwa atau suatu putusan hukum, dan sisa dari mereka
tidak memberikan tanggapan terhadap pendapat tersebut, baik merupakan
persetujuan terhadap pendapat yang telah dikemukakan atau menentang pendapat
itu.[5]
Adapun
macam yang pertama yaitu Ijma’ Sharih, maka itu ijma yang hakiki dan ini
merupakan hujjah syar’iyah dalam madzhab jumhur ulama.sedangkan macam yang
kedua yaitu ijma’ syukuti, maka ia adalah ijma I’tibari (anggapan), karena
sesungguhnya orang yang dian saja tidak ada kepastian, bahwa ia setuju. Oleh
karena itu, tidak ada kepastian mengenai terwujudnya kesepakatan dan terjadinya
ijma’, dan karena inilah maka ia masih dipertentangkan kehujjahannya. Jumhur
ulama berpendapat bahwa ijma’ sukuti bukanlah hujjah, dan bahwa ijma tersebut
tidak lebih dari keadaanya sebagai pendapat sebagian dari individu para
mujtahid.
c.
Problematika
ijma
Kebanyakan
ahli ushul menetapkan, bahwa ijma’ menurut makna atau ta’rif yang diberikan
oleh kebanyakan ahli ushul, dipandang suatu dasar dari dasar-dasar syari’at
sebagai yang sudah dijelaskan.
Akan tetapi, jika masalah ini dibahas
dengan seksama, ditinjau dari segala aspeknya jelaslah bahwa : masalah
menjadikan ijma’ sebagai dasar agama, atau hujjah, bukanlah masalah yang disepakati.
Banyak diantara ulama mujtahidin walaupun mereka membenarkan ta’rif ijma’ yang
telah diterangkan, menetapkan bahwa ijma’ yang seperti itu tidak mungkin
terjadi.
Imam Ahmad bin Hanbal menetapkan bahwa
“kemungkinan terjadinya ijma’ sesudah masa sahabat tak dapat diterima lagi
karena para ulama islam telah bertebaran sampai kepelosok. Mengumpulkan mereka
itu untuk mencapai kata sepakat (ijma’) bukanlah suatu hal yang mudah lagi,
bahkan hampir bisa dikatakan mustahil dan belum pernah kita dengar bahwa mereka
seluruhnya telah berkumpul di kota itu untuk menyepakati sesuatu hukum. Bahkan
imam Ahmad itu mengingkari terjadinya ijma’ yang diartikan dengan arti ahli
ushul itu di masa sahabat sendiri. Beliau mengatakan “barang siapa mengatakan
berarti ia telah berdusta”. Cukuplah ia katakan “aku tak tahu ada orang yang
menyalahi pendapat ini”. Karena boleh jadi telah ada yang menyalahi yang belum
sampai berita ini kepadanya.
Abu Muslim Al Ashfahani mengatakan bahwa “
para ulama menetapkan bahwa ijma’ sahabat itu dipandang (diterima) ijma’ orang
dibelakang sahabat diperselisihi. Abu Muslim menetapkan pula, bahwa ijma
sesudah sahabat tak mungkin diketahui ada/terjadi. Dia menandaskan bahwa “sukar
kita mengetahui ada/terjadi ijma’ selain dari ijma’ sahabat yang masih sedikit
jumlah orang-orang yang dipandang ahli ijma’. Keadaan itu memungkinkan meraka
berkumpul atau memberi persetujuan kepada sesuatu pendapat orang lain. Mereka
masih sedikit jumlahnya dan masih tinggal setempat, adapun sekarang sudah islam
tersebar ke seluruh pelosok, banyak bilangan ulama, tak mungkin lagi kita
meyakini ada terjadinya ijma’ (kata sepakat) diantara mereka itu. Apa yang
ditetapkan Abu muslim ini itulah yang dipegang teguh oleh Ahmad yang masih
dekat masanya kepada masa sahabat dan yang sangat luas hafalannya terhadap
segala urusan yang dinukilkan.
Ringkasnya ijma’ sesudah masa sahabat
tidak mungkin terjadi. Akan tetapi ijma’ dalam arti “mengumpulkan para ahli
bermusyawarah sebagai ganti para amirul mu’minin” itulah yang mungkin terjadi. Dan
inilah ijma’ yang terjadi di masa Abu Bakar dan Umar.[6]
IV.
Kesimpulan
Dari keterangan
diatas dapat di fahami bahwa ijma harus menyandar kepada dalil yang ada yaitu
kitab, sunah, atau yang mempunyai kaitan kepadanya baik langsung maupun tidak
dan tidak mungkin terlepas sama sekali dari kaitan tersebut. Dan alasan ijma
harus mempunyai sandaran adalah:
Pertama:
bahwa bila ijma’ tidak mempunyai dalil tempat sandaranya, ijma’ tidak akan
sampai pada kebenaran.
Kedua:
bahwa keadaanya sahabat tidak mungkin lebih baik dari pada nabi, sebagaimana
diketahui, Nabi saja tidak pernah menetapkan suatu hukum kecuali berdasarkan
kepada wahyu.
Ketiga:
bahwa pendapat tentang agama tanpa menggunakan dalil adalah salah. Kalau mereka
sepakat berbuat begitu berarti mereka sepakat melakukan kesalahan;
Keempat:
pendapat yang tidak di sandarkan kepada dalil tidak dapat di ketahui kaitanya
kepada hukum Syara’. Kalau tidak dapat dihubungkan dengan Syara tidak wajib
diikuti.[7]
V.
Penutup
Demikianlah
makalah yang dapat penulis paparkan, tentunya masih sangat jauh dari
kesempurnaan tapi semoga saja yang kita pelajari ini bermanfaat, dengan harapan
bisa menambah Pengetahuan dan keilmuan bagi kita semua. Kritik dan saran yang
bersifat membangun sangan diharapkan untuk menjadi koreksi kedepan dan terima
kasih kepada bapak dosen yang telah membimbing saya semoga kita semua mendapat barokah dan
kemanfa’atan ilmunya. Amien.
DAFTAR PUSTAKA
Syarifuddin, Amir, Pembaharuan Pemikiran dalam Hukum Islam,Padang:
Angkasa Raya,1993
Khallaf, Abdul Wahab, Ilmu Ushul Fiqh, Semarang: Dita Utama,
1994
Syarifuddin, Amir, Ushul Fiqh, Jakarta: Logos Wacana Ilmu,
1997
Ash Shiddieqy ,Teungku Muhammad Hasbi, Pengantar Hukum Islam. Semarang: PT Pustaka Rizki Putra, 1997.
[1]
Prof. Dr. H. Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh
Jilid 1. Jakarta: Logos Wacana Ilmu,1997. Hlm. 112
[2]
Prof. Dr. H. Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh
Jilid 1. Jakarta: Logos Wacana Ilmu,1997. Hlm.113
[3]
Prof. Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul
Fiqh. Semarang: Dina Utama (Toha putra Group),1994. Hlm. 56
[4]
Prof. Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul
Fiqh. Semarang: Dina Utama (Toha putra Group),1994. Hlm.57
[5]
Prof. Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul
Fiqh. Semarang: Dina Utama (Toha putra Group),1994. Hlm.64
[6]
Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Pengantar
Hukum Islam. Semarang: PT Pustaka Rizki Putra, 1997. Hlm.193
[7]
Prof. Dr. Amir Syarifuddin, Pembaharuan
Pemikiran dalam Hukum Islam. Padang: Angkasa Raya,1993. Hlm.63
TQ
BalasHapusTQ
BalasHapusCasino and Sportsbook | DrmCAD
BalasHapus› casinos › 광양 출장안마 sportsbook › casinos › sportsbook DrmCAD offers 계룡 출장샵 the best live casino games on offer and you'll love to find 순천 출장샵 a variety 충주 출장안마 of different game 안산 출장마사지 types for your bet types.